Perkembangan ekonomi syariah di Indonesia dari tahun ke tahun menunjukkan trend yang semakin meningkat. Dimulai dari pendirian Bank Muamalat Indonesia (BMI) pada tahun 1992, kemudian dilegalkannya operasi perbankan syariah melalui UU No. 10 tahun 1998 sampai dengan munculnya fatwa haramnya bunga dalam Bank Konvensional oleh Dewan Syari’ah Nasional Majelis Ulama Indonesia (DSN MUI) pada akhir tahun 1993. Semua ini menjadi momentum yang sangat penting bagi tumbuh kembangnya perekonomian syariah di Indonesia.
Bagi pemerintah, disamping peranan perekonomian syariah yang semakin penting, hal lain adalah adanya potensi pajak yang besar. Persoalannya adalah, disamping munculnya unsur pajak, ada kewajiban religi atas usaha yaitu zakat. Kedua-duanya adalah unsur pengurang kekayaan. Hal ini jika tidak dapat tertangani secara baik akan menimbulkan beban ganda bagi perekonomian syariah. Oleh karena itu perlu ditemukan formula agar tidak menjadi beban yang berat bagi dunia usaha dengan pola syariah, seperti menjadikan zakat sebagai unsur pengurang terhadap total hutang pajak yang harus dibayar (kredit pajak). Dengan demikian, kemungkinan doubel dalam hal pengurangan kekayaan/penghasilan dapat dieliminasi.
Kata kunci : Zakat, Pajak, Perekonomian Syari’ah
Pertumbuhan ekonomi syari’ah sejak tahun 1996 telah menunjukkan perkembangan yang cukup baik di Indonesia. Hal ini terutama ditandai dengan diperbolehkannya perbankan menggunakan konsep syari’ah, terutama pasca berdirinya Bank Muamalat Indonsia (BMI), meskipun belum dapat terakomodasikan oleh perundang-uandangan yang berlaku dalam bidang perbankan. Pada tahun 1998, operasional perbankan dengan pola syari’ah, baru memperoleh legitimasi dengan disyahkannya Undang-undang No. 10 tahun 1998 tentang Perbankan. Keadaan ini sudah barang tentu merupakan perkembangan baik bagi pemasyarakatan dan implementasi ekonomi dengan berlandaskan pada ajaran agama khususnya Islam.
Pada akhir tahun 2003, tepatnya tanggal 16 Desember 2003 perekonomian dengan pola syari’ah mendapatkan momentum penting kedua setelah tahun 1996 yaitu keluarnya Fatwa dari Majelis Ulama Indonesia (MUI) melalui Dewan Syari’ah Nasional (DSN) tentang haramnya bunga bank “ Praktek pembungaan uang saat ini telah memenuhi kriteria riba dan riba haram hukumnya. Fatwa ini kemudian menjadi perbincangan hangat masyarakat, terutama di kalangan ulama’. Sebagian mendukung, sebagian menentang dan sebagian lainnya moderat dengan menunjukkan perbedaan pendapat tentang hukum bunga bank dan kemudian menyerahkan ke masyarakat untuk mengambil keputusan sesuai dengan dengan ijtihadnya atas dasar-dasar agama yang telah ditunjukkan. Nahdlatul Ulama (NU) misalnya menunjukkan ada tiga pendapat mengenai bunga bank yaitu boleh, haram dan mutasyabihat.
Meskipun fatwa ini menjadi kontroversi bagi ummat Islam Indonesia mulai dari tingkat masyarakat, birokrat sampai dengan kalangan ulama sendiri, harus diakui menjadi tonggak bersejarah bagi perkembangan perekonomian syariah di Indonesia. Menurut simulasi Tim direktorat Penelitian dan Pengaturan Bank Indonesia diprediksikan dengan fatwa ini dana perbankan syariah akan dapat meningkat sampai dengan 88 trilyun rupiah (11% dari total dana yang dapat diserap perbankan). Jumlah yang tidak sedikit dan sangat berarti untuk dapat menggerakkan sektor riil dalam perekonomian yang dampaknya akan langsung dirasakan masyarakat.
Keadaan ini menjadikan perekonomian syariah terutama Perbankan Syari’ah sebagai lokomotifnya mulai mendapatkan perhatian yang lebih baik dari berbagai pihak termasuk pemerintah. Kondisi ini sudah barang tentu sangat menggembirakan sekaligus mencemaskan. Perekonomian dengan pola syariah jika dapat dijalankan secara optimal dengan manajemen yang baik akan dapat menjadi roda penggerak utama perekonomian, begitu juga sebaliknya dapat menjadi awal dari ketidakpercayaan para pelaku ekonomi.
Zakat dan Pajak
Zakat merupakan salah satu rukun Islam diantara syahadat, sholat, puasa dan menunaikan ibadah haji. Kata zakat berarti menyucikan harta dari hak-hak orang lain atas sebuah kekayaan. Kewajiban zakat dalam Al Qur’an dituliskan dalam berbagai ayat dengan penekanan perintah yang hampir selalu dibarengkan dengan perintah sholat, sebagaiman dalam salah satu ayat pada surat Al Muzammil “Dan dirikanlah sholat, tunaikanlah zakat dan berikanlah pinjaman kepada Allah, pinjaman yang baik”. Ini menunjukkan bahwa keharusan zakat itu adalah hal sangat penting dalam ajaran Islam.
Dalam zakat ada dua dimensi penting secara filosofi. Pertama, zakat mengandung dimensi sebagai proses perbaikan dalam produksi. Dalam konteks ini zakat lebih banyak dipungut dari kekayaan yang menganggur. Ditariknya sebagian kekayaan sebagai zakat, akan menjadikan harta zakat lebih produktif untuk dikelola para mustahiq bagi peningkatan produksi. Kedua, zakat adalah pendistribusian kekayaan kepada pihak lain. Dengan demikian terjadi proses pemerataan pendapatan yang nantinya akan dapat mengurangi kesenjangan yang terjadi.
Zakat juga mempunyai manfaat yang sangat besar dalam upaya mencapai keberimbangan hidup antar sesama mahluq Allah swt. Bagi pemberi, zakat adalah upaya mensucikan diri dan harta dari hak-hak pihak lain yang diamanatkan Allah, sebagaimana dalam surat Adz Dzariat 19 “Pada setiap kekayaan itu ada hak orang lain, diminta atau tidak”. Bagi pihak penerima, zakat adalah salah satu sumber keberkahan hidup dalam pemenuhan kebutuhan manusia untuk dapat mempertahankan dan meningkatkan kesejahteraan.
Oleh karena itu, konsep zakat adalah konsep kesetaraan antar manusia baik pemberi maupun penerima sebagai upaya perangsang (stimulus) kehidupan perekonomian yang berkeadilan dan merata. Dengan demikian, zakat juga dapat dijadikan sebagai salah satu entry point (titik masuk) penggerakan perekonomian. Akumulasi zakat adalah potensi ekonomi yang sangat besar untuk dapat menghidupkan kembali usaha-usaha dalam menumbuhkembangkan pergerakan transasksi ekonomi. Jumlah penduduk Indonesia yang kurang lebih 200 juta merupakan potensi besar dalam pengakumulasian modal dari penggalangan zakat, baik zakat mal maupun zakat fitrah. Dari zakat fitrah saja, jika dijumlahkan dalam rupiah kurang lebih 1, 2 trilyun rupiah (7.500 x 160 juta dengan asumsi 80% muslim) untuk satu kali penarikan. Belum lagi jika kita dapat mengoptimalkan penarikan dari zakat mal bagi kalangan muslim.
Pajak adalah pengalihan sebagian kekayaan dari swasta kepada negara melalui pemerintah sebagai pelaksana atas dasar undang-undang dengan tanpa mendapat kontraprestasi yang dapat ditunjuk secara langsung dan dananya digunakan sebesar-besarnya untuk membiayai pembangunan nasional.
Dari pengertian ini, zakat setidak-tidaknya mengandung tiga dimensi. Pertama, dimensi pendapatan. Pajak adalah sumber pendapatan negara diantara sumber pendapatan lainya. Semakin besar sumber ini diterima, maka pembiayaan pembangunan negara dapat lebih mandiri tanpa harus bergantung pada pihak lain. Kedua, aspek ekonomi dimana melalui alat kebijakan pajak diharapkan dapat mengembangkan ekonomi yang berkeadilan dan dapat mengurangi kesenjangan yang terjadi antar masyarakat dan antar daerah. Ketiga, aspek pendistribusian kembali pendapatan kepada masyarakat. Melalui pajak yang dipungut dan kemudian dikembalikan kepada masyarakat (dalam berbagai program pembangunan) sesuai kebutuhan tanpa melihat asal pajakdiperoleh. Dengan demikian, akan terjadi pemerataan pembangunan dengan lebih mempertimbangkan tingkat kebutuhan dan manfaat dari pada harus menggunakan dasar asal sumber pendapatan diperoleh.
Hubungan Zakat dan Pajak
Jika dicermati secara seksama, zakat dan pajak sebetulnya hampir sama dari sisi aspek manfaat yaitu berusaha untuk mengoptimalkan kekayaan melalui proses pemarataan kepada masyarakat sebagai upaya untuk meningkatkan kesejahteraan hidup. Hal lain, antara zakat dan pajak juga mempunyai persamaan berkaitan dengan azas sebagaimana dikemukakan oleh Adam Smith, kesamaan dan keadilan, kepastian hukum, manfaat ekonomi dan pembangunan nasional. Empat faktor tersebut selalu melandasi dalam implementasi keduanya.
Namun demikian, ini tidak berarti antara zakat dan pajak sama. Zakat lebih mengkedepankan aspek religius dalam praktik dan filosofinya. Bagi ummat Islam, zakat kewajiban yang harus dijalankan secara ikhlas sebagai bagian dari pemenuhan kewajiban Allah kepada manusia. Dengan demikian, zakat tidak terkait dengan aspek pembiayaan maupun harga. Zakat juga diambil dari dasar kekayaan terutama yang tidak termanfaatkan.
Pada sisi yang lain, pajak lebih banyak dilihat dalam konteks kenegaraan yang kemudian banyak dikaitkan dengan pendapatan sehingga akan dapat mempengaruhi aspek biaya dan harga. Begitu juga jika dikaitkan dengan model distribusinya, distribusi zakat diatur secara ketat (misalnya zakat fitrah didistribusikan kepada delapan kelompok penerima yang sifatnya pasti, seperti fakir, miskin, sabilillah, dan lain sebagainya), sedang pajak didistribusikan untuk seluruh warga negara tanpa terkecuali.
Pajak dan Perekonomian Syariah
Pertumbuhan ekonomi syariah yang menunjukkan trend meningkat, menjadikan pola ini mendapat perhatian yang sangat banyak dari masyarakat sampai dengan Pemerintah. Salah satu yang mendapat perhatian pemerintah disamping peranannya yang semakin besar dalam perekonomian, hal lain adalah adanya potensi pajak yang sangat besar dari akumulasi dana yang berputar dan terus tumbuh berkembang dalam jumlah yang signifikan. Pemerintah melalui Direktorat jenderal Pajak Republik Indonesia (Ditjen Pajak RI) telah membuat peraturan pajak terhadap produk-produk syariah di Indonesia. Situasi ini sudah barang tentu akan menjadi tantangan tersediri bagi pelaku ekonomi dengan pola syariah. Pengenaan pajak disamping dapat menjadi stimulus perekonomian, pada sisi lain juga dapat menjadi beban jika peraturan yang dibuat kurang berfihak pada wajib pajak.
Bagi perekonomian syariah, pajak adalah pengurang pendapatan setelah dikurangi oleh unsur zakat. Dengan demikian dampak penambahan unsur pengurang tersebut dapat mengurangi hasil yang diperoleh dan selanjutnya akan mengurangi pula daya tawar produk syariah karena harga yang tidak bersaing dengan produk lainnya. Beban dobel (pajak dan zakat) akan menjadikan harga yang lebih tinggi dan selanjutnya bisa jadi tidak terjangkau oleh pasar. Akibatnya produk terhenti karena tidak terjadinya transaksi dan selanjutnya jika hal ini dibiarkan akan berakibat bagi macetnya transaksi ekonomi.
Bagi ummat Islam, kalau penerapan pajak masih tetap menggunakan pola sebagaimana telah dijelaskan didepan, berarti akan terjadi double dalam penarikan dan pengurangan atas kekayaan dan pendapatan melalui pajak dan zakat. Dengan demikian akan menambah berat beban ekonomi yang ditanggung sehingga dapat mengurangi kemampuan ekonomi masyarakat.
Sebagaiman digariskan dalam Islam, perekonomian itu adalah terjadinya transaksi jual dan beli secara halal lagi baik. Bai’ yang dalam bahasa arab sebetulnya berarti “jual”, akan tetapi dalam konsep Islam (Al Qur’an) diterjemahkan dalam pengertian “jual beli”. Ini berarti dalam Islampun diajarkan, bahwa berjalannya ekonomi itu salah satunya kalau terjadi transaksi jual dan beli secara seimbang sesuai dengan kaidah-kaidah transaksi seperti adanya keihlasan, kejujuran, kejelasan maupun kesetaraan hak dan kewajiban antara penjual dan pembeli.
Oleh karena itu dituntut kehati-hatian dalam pengambilan kebijakan ini, agar tidak menjadi bumerang bagi perkembangan ekonomi syariah di Indonesia. Kepentingan akan pendapatan dari sektor pajak yang semakin besar harus dapat diimbangi dengan manfaat yang diperoleh serta tidak memunculkan ketidak berimbangan kebijakan bagi seluruh pelaku ekonomi tanpa memandang adanya unsur agama ataupun tidak.
Solusi kedepan terhadap masalah zakat dan pajak ini, ada baiknya jika zakat dapat dijadikan sebagai salah satu unsur pengurang (kredit pajak) dari total kewajiban pajak yang harus dibayar, sehingga kemungkinan terjadinya penarikan ganda dapat terkurangi dan beban usaha menjadi semakin kecil. Hal selanjutnya keuntungan yang dapat diraih akan semakin besar dan investasi akan menjadi lebih menarik.
DAFTAR PUSTAKA
--------------------, 2000, AL Qur’an dan Terjemahannya, Depag, Jakarta
--------------------, 2003, Zakat dan Pajak, Majalah Ekonomi Syari’ah, Ekaba Usakti, Jakarta, P 28-29
--------------------, 2003, Fatwa Bunga Bank ya atau tidak ?, Majalah Modal, PT Modal Multimedia, Jakarta, P 8-9
Antonio, Syafi’I, 1999, Sosialisasi Perbankan Syariah, Tazkia Institute, Jakarta
Manan, Abdul, 1993, Ekonomi Islam Teori dan Praktik, PT Dana Bhakti Wakaf, Jakarta
Shodiq, Noor, Askandar, 2003, Perpajakan Pendekatan Undang-undang Baru Manajemen dan Akuntansi, BPFE Unisma, Malang
Shodiq, Noor, Askandar, 2003, Membumikan Ekonomi Syari’ah di Indonesia, Majalah Buana, Unisma, Malang.