Rabu, 30 November 2011

BELAJARLAH KE NEGERI CINA

Hampir tidak ada orang yang tidak kenal negeri Tirai Bambu Cina. Berbagai produk Negara tersebut, mulai dari mainan anak-anak sampai produk yang mengandalkan tekmologi  kini membanjiri hampir seluruh penjuru dunia mulai dari dataran Eropa sampai Afrika.
Di Indonesia, produk Cina bahkan menguasai pangsa pasar lebih dari dua puluh persen. Bukan hanya karena harganya yang murah, tapi juga kecepatan dan ketepatan dalam memotret tren pasar. Ditambah lagi keunggulan spesifik baik dari teknologi produksi,  desain produk yang menarik, dan lain sebagainya.
Sebagai contoh Pasar Hand phone yang dulu dikuasai produk dari Eropa, Jepang dan Korea, pelan tapi pasti kini mulai dikuasai produk Cina. Hal ini karena disamping murah, juga memiliki keunggulan lain seperti dual sim card, phone tv, dan kecepatan menyesuaikan  seperti peluncuran keypad Qwerty system  yang kini sangat digandrungi pasar.  
Karena itu tidak salah jika kita mengkaji kembali sabda Rasulullah Muhammad SAW yang menganjurkan ummat Islam untuk belajar sampai negeri Cina. Di negeri ini, dapat ditemukan berbagai hal yang sangat bermanfaat bagi kehidupan bangsa di dunia, termasuk didalamnya yang berkaitan dengan dunia bisnis.
Terdapat berbagai keunggulan yang di Cina selalu dikembangkan, antara lain :
Pertama, teguh memegang prinsip dalam berbisnis. Di Cina ada prinsip yang melekat kuat dalam benak setiap masyarakat “tidak ada produk massal yang tidak bisa diproduksi di Cina”. Prinsip ini sekarang telah menunjukkan hasilnya, dimana produk Cina membanjiri pasar dunia dan mengancam pasar yang selama ini digenggam oleh negara maju. Bahkan Negara Eropa sampai membuat aturan proteksi, yang sebetulnya tidak dikenal dalam ekonomi kapitalis yang selama ini mereka agungkan.
Kedua, mau berubah menjadi lebih baik. Produk Cina selalu dibarengi dengan kreativitas dan inovasi sehingga seringkali menjadi yang terdepan (pelopor). Prinsip ini penting jika kita ingin selalu dapat sukses dalam berbisnis. Ketika pemain lama produk hand phone hanya mengandalkan beberapa perubahan, Cina mengenalkan Phone TV. Begitu juga ketika model ini diikuti, Cina kemudian mengembangkan HP dengan dua kartu (dual sim card) baik GSM on GSM maupun GSM on CDMA.  Begitu juga produk televisi, Cina mengenalkan TV yang juga dapat digunakan untuk sms-an. Dengan ini, produk Cina lebih banyak menjadi trend setter daripada follower, karena selalu selangkah lebih depan.
Ketiga, kekuatan tekat dan kemauan untuk bekerja keras. Dalam berusaha diperlukan totalitas agar dapat berhasil. Sikap ini dibarengi dengan kedisiplinan dalam mengelola usaha. Pemisahan kekayaan pribadi dengan kekayaan usaha juga  menjadi bagian penting yang harus selalu dijaga. Melalui sikap dan pola perilaku tersebut, akan mudah diketahui kapan usaha yang dijalankan memperoleh keuntungan, impas atau menderita kerugian. Berbeda jika tidak dipisahkan, tentu akan sulit mengevaluasi perjalanan bisnis yang dikelola.
Keempat, kuat dalam mengembangkan jaringan. Jaringan sangat penting dalam bisnis, karena akan dapat mempercepat sampainya produk pada pelanggan. Disamping itu, dapat mempercepat tercapainya economics of scale (skala ekonomi) dan kepastian jumlah produk yang diterima pasar.
Contoh sederhana sebagaimana telah saya tuliskan di edisi sebelumnya. Jika kita mempunyai 1000 jaringan outlet dengan rata-rata transaksi 100 unit per hari, berarti produk kita akan langsung terserap di pasar sejumlah 100.000 unit produk (1000 X 100). Jika dalam satu bulan rata-rata tiga puluh hari, omset produk adalah tiga juta unit produk terjual. Jumlah yang tentu tidak sedikit, apalagi jika hitungan ditambah dengan memasukkan unsur harga jual.
Ini adalah sekelumit contoh yang patut diteladani jika ingin sukses dalam mengembangkan usaha. Bangsa dan Negara Cina telah membuktikan dan menunjukkan kesuksesannya. Dari negara yang miskin dengan jumlah penduduk terbesar di dunia, kini telah menjelma menjadi negara yang sangat kuat. Tidak hanya dalam percaturan dan persaingan perekonomian global yang sangat ketat, akan tetapi juga dalam mempengaruhi kebijakan politik di dunia. Secara perorangan juga sangat banyak yang menjelma menjadi pengusaha besar dan terkaya di dunia.
Diperlukan keberanian dan kemauan untuk bekerja keras agar berhasil dalam menjalankan bisnis.  Begitu juga, pengusaha harus terus mau belajar karena perubahan bisnis akan sangat cepat dan dinamis. Sekali kita lengah, maka akan ketinggalan kereta. Jika sudah demikian, maka kebangkrutan dan ketertinggalan tinggal menunggu saatnya datang. Bagaimana dengan anda ?   

Rabu, 23 November 2011

EMPAT STRUKTUR NILAI WIRAUSAHA

Sosok wira usaha yang ideal menuntut pengaplikasian usaha dengan selalu mengedepankan kreativitas dan berusaha secara inovatif dengan melihat segala persoalan dari sudut pandang yang lengkap  (komprehensif). Usaha tidak cukup hanya dengan kecerdasan, ketrampilan dan kepiawian teknis, tetapi mencakup sikap mental yang baik disertai dengan kemauan kuat dan bekerja keras untuk menjadi lebih baik. Ini yang menjadikan pengusaha siap menghadapi dan menyelesaikan segala tantangan untuk mencapai keberhasilan dengan berbagai fluktuasinya. Bagi pengusaha, ketidaksuksesan bukan berarti kegagalan, akan tetapi penemuan strategi untuk bangkit. Begitu juga kesuksesan bukanlah akhir dari segalanya, akan justru satu langkah untuk menuju kesuksesan yang lain.
Dengan demikian, bagi pengusaha tidak ada kamus untuk berhenti. Manusia harus selalu berusaha, karena memang inilah kodrat yang ditetapkan oleh sang pencipta. Hanya kepada Allah jualah kegagalan dan kesuksesan ditetapkan. Allah swt sudah menjanjikan, barang siapa setelah berusaha keras kemudian memasrahkan hasilnya kepada Allah (tawakkal), maka Allahpun akan mencukupi segala kebutuhannya.
Untuk mencapai ini semua, setidaknya setiap wirausaha harus memiliki  empat (4) setruktur nilai-nilai kewirausahaan.
Pertama, sikap mental yang selalu berusaha untuk berkembang. Sikap ini penting agar dalam jiwa setiap wira usaha tumbuh tekad dan tindakan yang kreatif dan inovatif. Dengan kreativitas dan inovasi akan memunculkan peluang baru, karena ada sisi beda yang membuat calon pelanggan tertarik.  Model ini juga dapat memenuhi pengharapan konsumen untuk selalu mendapatkan sesuatu yang baru. Pendek kata harus ada slogan yang  selalu didengungkan bagi setiap wirausahawan yang ingin sukses “INOVASI TIADA HENTI”
Kedua, munculnya jiwa kepemimpinan dalam menjalankan usaha (leadership). Kepemimpinan tidak hanya sekedar mengarahkan pihak lain, tetapi juga menyangkut ketauladanan dalam setiap perilaku. Dalam bisnis, penting bagi seorang pemimpin untuk terlibat dalam kegiatan organisasi usaha, khususnya pada beberapa hal yang dianggap prinsip. Tidak hanya sekedar bicara, akan tetapi juga menunjukkan perilaku yang dapat dijadikan panutan adalah tuntutan yang harus dipenuhi dalam kepemimpinan bisnis.
Ketiga, manajemen yang baik sehingga mampu mengarahkan setiap pekerja dalam organisasi untuk bersama-sama mencapai tujuan yang telah ditetapkan. Perencanaan yang baik dengan mengedepankan tiga unsur utama (apa yang akan dilakukan, bagaimana cara mengelolanya dan siapa yang harus menjalankannya), pengorganisasian yang komprehensif dengan pendelegasian yang memberikan kewenangan, tugas dan tanggung jawab secara jelas. Selanjutnya adalah aktualisasi kegiatan yang sesuai dengan perencanaan  dengan standard dan prosedur yang baku, serta kontrol yang selalu melekat dalam setiap kegiatan organisasi usaha. Seorang ahli manajemen George Terry, mengungkapkannya sebagi empat pilar  penting manajemen usaha yaitu Planning, Organizing, Actuating and Controlling.
Keempat, ketrampilan dalam berusaha yang harus dimiliki sehingga dapat memberikan keunggulan baik dari sisi produk, teknologi, manajemen maupun yang lainnya dibanding dengan pesaing. Dengan demikian, ada keunggulan kompetitif yang dapat diciptakan sehingga calon pelanggan tertarik.
Perpaduan sikap mental untuk selalu bekerja keras, kepemimpinan yang kuat, manajemen yang baik dan ketrampilan dalam berusaha adalah kekuatan maha dasyat yang menentukan keberhasilan dalam berusaha. Oleh karena kepandaian meramu keempat faktor tersebut, bagi seorang pengusaha merupakan sebuah keniscayaan jika ingin memenangkan persaingan. Bagaimana dengan anda? 

Kamis, 17 November 2011

ZAKAT, PAJAK DAN PEREKONOMIAN SYARI’AH

Perkembangan ekonomi syariah di Indonesia dari tahun ke tahun menunjukkan trend yang semakin meningkat. Dimulai dari pendirian Bank Muamalat Indonesia (BMI) pada tahun 1992, kemudian dilegalkannya operasi perbankan syariah melalui UU No. 10 tahun 1998 sampai dengan munculnya fatwa haramnya bunga dalam Bank Konvensional oleh Dewan Syari’ah Nasional Majelis Ulama Indonesia (DSN MUI) pada akhir tahun 1993. Semua ini menjadi momentum yang sangat penting bagi tumbuh kembangnya perekonomian syariah di Indonesia.
            Bagi pemerintah, disamping peranan perekonomian syariah yang semakin penting, hal lain adalah adanya potensi pajak yang besar. Persoalannya adalah,  disamping munculnya unsur pajak, ada kewajiban religi atas usaha yaitu zakat. Kedua-duanya adalah unsur pengurang kekayaan. Hal ini jika tidak dapat tertangani secara baik akan menimbulkan beban ganda bagi perekonomian syariah. Oleh karena itu perlu ditemukan formula agar tidak menjadi beban yang berat bagi dunia usaha dengan pola syariah, seperti menjadikan zakat sebagai unsur pengurang terhadap total hutang pajak yang harus dibayar (kredit pajak). Dengan demikian, kemungkinan doubel dalam hal pengurangan kekayaan/penghasilan dapat dieliminasi.

 

Kata kunci : Zakat, Pajak, Perekonomian Syari’ah


            Pertumbuhan ekonomi syari’ah sejak tahun 1996 telah menunjukkan perkembangan yang cukup baik di Indonesia. Hal ini terutama ditandai dengan diperbolehkannya perbankan menggunakan konsep syari’ah, terutama pasca berdirinya Bank Muamalat Indonsia (BMI), meskipun belum dapat terakomodasikan oleh perundang-uandangan yang berlaku dalam bidang perbankan. Pada tahun 1998, operasional perbankan dengan pola syari’ah, baru memperoleh legitimasi dengan disyahkannya Undang-undang No. 10 tahun 1998 tentang Perbankan. Keadaan ini sudah barang tentu merupakan perkembangan baik bagi  pemasyarakatan dan implementasi ekonomi dengan berlandaskan pada ajaran agama khususnya Islam.
Pada akhir tahun 2003, tepatnya tanggal 16 Desember 2003 perekonomian dengan pola syari’ah mendapatkan momentum penting kedua setelah tahun 1996 yaitu keluarnya Fatwa dari Majelis Ulama Indonesia (MUI) melalui Dewan Syari’ah Nasional (DSN) tentang haramnya bunga bank “ Praktek pembungaan uang saat ini telah memenuhi kriteria riba dan riba haram hukumnya. Fatwa ini kemudian menjadi perbincangan hangat masyarakat, terutama di kalangan ulama’. Sebagian mendukung, sebagian menentang dan sebagian lainnya moderat dengan menunjukkan perbedaan pendapat tentang hukum bunga bank dan kemudian menyerahkan ke masyarakat untuk mengambil keputusan sesuai dengan dengan ijtihadnya atas dasar-dasar agama yang telah ditunjukkan. Nahdlatul Ulama (NU) misalnya menunjukkan ada tiga pendapat mengenai bunga bank yaitu boleh, haram dan mutasyabihat.
Meskipun fatwa ini menjadi kontroversi bagi ummat Islam Indonesia mulai dari tingkat masyarakat, birokrat sampai dengan kalangan ulama sendiri, harus diakui menjadi tonggak bersejarah bagi perkembangan perekonomian syariah di Indonesia. Menurut simulasi Tim direktorat Penelitian dan Pengaturan Bank Indonesia diprediksikan dengan fatwa ini dana perbankan syariah akan dapat meningkat sampai dengan 88 trilyun rupiah (11% dari total dana yang dapat diserap perbankan). Jumlah yang tidak sedikit dan sangat berarti untuk dapat menggerakkan sektor riil dalam perekonomian yang dampaknya akan langsung dirasakan masyarakat.
Keadaan ini menjadikan perekonomian syariah terutama Perbankan Syari’ah sebagai lokomotifnya mulai mendapatkan perhatian yang lebih baik  dari berbagai pihak termasuk pemerintah. Kondisi ini sudah barang tentu sangat menggembirakan sekaligus mencemaskan. Perekonomian dengan pola syariah jika dapat dijalankan secara optimal dengan manajemen yang baik akan dapat menjadi roda penggerak utama perekonomian, begitu juga sebaliknya dapat menjadi awal dari ketidakpercayaan para pelaku ekonomi.

Zakat dan Pajak

            Zakat merupakan salah satu rukun Islam diantara syahadat, sholat, puasa dan menunaikan ibadah haji. Kata zakat berarti menyucikan harta dari hak-hak orang lain atas sebuah kekayaan. Kewajiban zakat dalam Al Qur’an dituliskan dalam berbagai ayat dengan penekanan perintah yang hampir selalu dibarengkan dengan perintah sholat, sebagaiman dalam salah satu ayat pada surat Al Muzammil “Dan dirikanlah sholat, tunaikanlah zakat dan berikanlah pinjaman kepada Allah, pinjaman yang baik”. Ini menunjukkan bahwa keharusan zakat itu adalah hal sangat penting dalam ajaran Islam.
Dalam zakat ada dua dimensi penting secara filosofi. Pertama, zakat mengandung dimensi sebagai proses perbaikan dalam produksi. Dalam konteks ini zakat lebih banyak dipungut dari kekayaan yang menganggur. Ditariknya sebagian kekayaan sebagai zakat, akan menjadikan harta zakat lebih produktif untuk dikelola para mustahiq bagi peningkatan produksi. Kedua, zakat adalah pendistribusian kekayaan kepada pihak lain. Dengan demikian terjadi proses pemerataan pendapatan yang nantinya akan dapat mengurangi kesenjangan yang terjadi.
            Zakat juga mempunyai manfaat yang sangat besar dalam upaya mencapai keberimbangan hidup antar sesama mahluq Allah swt. Bagi pemberi, zakat adalah upaya mensucikan diri dan harta dari hak-hak pihak lain yang diamanatkan Allah, sebagaimana dalam surat Adz Dzariat 19 “Pada setiap kekayaan itu ada hak orang lain, diminta atau tidak”. Bagi pihak penerima, zakat adalah salah satu sumber keberkahan hidup dalam pemenuhan kebutuhan manusia untuk dapat mempertahankan dan meningkatkan kesejahteraan.
Oleh karena itu, konsep zakat adalah konsep kesetaraan antar manusia baik pemberi maupun penerima sebagai upaya perangsang (stimulus) kehidupan perekonomian yang berkeadilan dan merata. Dengan demikian, zakat juga dapat dijadikan sebagai salah satu entry point (titik masuk) penggerakan perekonomian. Akumulasi zakat adalah potensi ekonomi yang sangat besar untuk dapat menghidupkan kembali usaha-usaha dalam menumbuhkembangkan pergerakan transasksi  ekonomi. Jumlah penduduk Indonesia yang kurang lebih 200 juta merupakan potensi besar dalam pengakumulasian modal dari penggalangan zakat, baik zakat mal maupun zakat fitrah. Dari zakat fitrah saja, jika dijumlahkan dalam rupiah kurang lebih  1, 2 trilyun rupiah (7.500 x 160 juta dengan asumsi 80% muslim) untuk satu kali penarikan. Belum lagi jika kita dapat mengoptimalkan penarikan dari zakat mal bagi kalangan muslim.
            Pajak adalah pengalihan sebagian kekayaan dari swasta kepada negara melalui pemerintah sebagai pelaksana atas dasar undang-undang dengan tanpa mendapat kontraprestasi yang dapat ditunjuk secara langsung dan dananya digunakan sebesar-besarnya untuk membiayai pembangunan nasional.
            Dari pengertian ini, zakat setidak-tidaknya mengandung tiga dimensi. Pertama, dimensi pendapatan. Pajak adalah sumber pendapatan negara diantara sumber pendapatan lainya. Semakin besar sumber ini diterima, maka pembiayaan pembangunan negara dapat lebih mandiri tanpa harus bergantung pada pihak lain. Kedua, aspek ekonomi dimana melalui alat kebijakan pajak diharapkan dapat mengembangkan ekonomi yang berkeadilan dan dapat mengurangi kesenjangan yang terjadi antar masyarakat dan antar daerah. Ketiga, aspek pendistribusian kembali pendapatan kepada masyarakat. Melalui pajak yang dipungut dan kemudian dikembalikan kepada masyarakat (dalam berbagai program pembangunan) sesuai kebutuhan tanpa melihat asal pajakdiperoleh. Dengan demikian, akan terjadi pemerataan pembangunan  dengan lebih mempertimbangkan tingkat kebutuhan dan manfaat dari pada harus menggunakan dasar asal sumber pendapatan diperoleh.

Hubungan Zakat dan Pajak

            Jika dicermati secara seksama, zakat dan pajak sebetulnya hampir sama dari sisi aspek manfaat yaitu berusaha untuk mengoptimalkan kekayaan melalui proses pemarataan kepada masyarakat sebagai upaya untuk meningkatkan kesejahteraan hidup. Hal lain, antara zakat dan pajak juga mempunyai persamaan berkaitan dengan azas sebagaimana dikemukakan oleh Adam Smith, kesamaan dan keadilan, kepastian hukum, manfaat ekonomi dan pembangunan nasional. Empat faktor tersebut selalu melandasi dalam implementasi keduanya.

            Namun demikian, ini tidak berarti antara zakat dan pajak sama. Zakat lebih mengkedepankan aspek religius dalam praktik dan filosofinya. Bagi ummat Islam, zakat kewajiban yang harus dijalankan secara ikhlas sebagai bagian dari pemenuhan kewajiban Allah kepada manusia. Dengan demikian, zakat tidak terkait dengan aspek pembiayaan maupun harga. Zakat juga diambil dari dasar kekayaan terutama yang tidak termanfaatkan.

Pada sisi yang lain, pajak lebih banyak dilihat dalam konteks kenegaraan yang kemudian banyak dikaitkan dengan pendapatan sehingga akan dapat mempengaruhi aspek biaya dan harga. Begitu juga jika dikaitkan dengan model distribusinya,  distribusi zakat diatur secara ketat (misalnya zakat fitrah didistribusikan kepada delapan kelompok penerima yang sifatnya pasti, seperti fakir, miskin, sabilillah, dan lain sebagainya), sedang pajak didistribusikan untuk seluruh warga negara tanpa terkecuali.

Pajak dan Perekonomian Syariah

            Pertumbuhan ekonomi syariah yang menunjukkan trend meningkat, menjadikan pola ini mendapat perhatian yang sangat banyak dari masyarakat sampai dengan Pemerintah. Salah satu yang mendapat perhatian pemerintah disamping peranannya yang semakin besar dalam perekonomian, hal lain  adalah adanya potensi pajak yang sangat besar dari akumulasi dana yang berputar dan terus tumbuh berkembang dalam jumlah yang signifikan. Pemerintah melalui Direktorat jenderal Pajak Republik Indonesia (Ditjen Pajak RI) telah membuat peraturan pajak terhadap produk-produk syariah di Indonesia. Situasi ini  sudah barang tentu akan menjadi tantangan tersediri bagi pelaku ekonomi dengan pola syariah. Pengenaan pajak disamping dapat menjadi stimulus perekonomian, pada sisi lain juga dapat menjadi beban jika peraturan yang dibuat kurang berfihak pada wajib pajak.
Bagi perekonomian syariah, pajak adalah pengurang pendapatan setelah dikurangi oleh unsur zakat. Dengan demikian dampak penambahan unsur pengurang tersebut  dapat mengurangi hasil yang diperoleh dan selanjutnya akan mengurangi pula daya tawar produk syariah karena harga yang tidak bersaing dengan produk lainnya. Beban dobel (pajak dan zakat) akan menjadikan harga yang lebih tinggi dan selanjutnya bisa jadi tidak terjangkau oleh pasar. Akibatnya produk terhenti karena tidak terjadinya transaksi dan selanjutnya jika hal ini dibiarkan akan berakibat bagi macetnya transaksi ekonomi.
Bagi ummat Islam, kalau penerapan pajak masih tetap menggunakan pola sebagaimana telah dijelaskan didepan, berarti akan terjadi double dalam penarikan dan pengurangan atas kekayaan dan pendapatan melalui pajak dan zakat. Dengan demikian akan menambah berat beban ekonomi yang ditanggung sehingga dapat mengurangi kemampuan ekonomi masyarakat. 
Sebagaiman digariskan dalam Islam, perekonomian itu adalah terjadinya transaksi jual dan beli secara halal lagi baik. Bai’ yang dalam bahasa arab sebetulnya berarti “jual”, akan tetapi dalam konsep Islam (Al Qur’an) diterjemahkan dalam pengertian “jual beli”. Ini berarti dalam Islampun diajarkan, bahwa berjalannya ekonomi itu salah satunya kalau terjadi transaksi jual dan beli secara seimbang sesuai dengan kaidah-kaidah transaksi seperti adanya keihlasan, kejujuran, kejelasan maupun kesetaraan hak dan kewajiban antara penjual dan pembeli.
Oleh karena itu dituntut kehati-hatian dalam pengambilan kebijakan ini, agar tidak menjadi bumerang bagi perkembangan ekonomi syariah di Indonesia. Kepentingan akan pendapatan dari sektor pajak yang semakin besar harus dapat diimbangi dengan manfaat yang diperoleh  serta tidak memunculkan ketidak berimbangan kebijakan bagi seluruh pelaku ekonomi tanpa memandang adanya unsur agama ataupun tidak.
Solusi kedepan terhadap masalah zakat dan pajak ini, ada baiknya jika zakat dapat dijadikan sebagai salah satu unsur pengurang (kredit pajak) dari total kewajiban pajak yang harus dibayar, sehingga kemungkinan terjadinya penarikan ganda dapat terkurangi dan beban usaha menjadi semakin kecil. Hal selanjutnya keuntungan yang dapat diraih akan semakin besar dan investasi akan menjadi lebih menarik.
DAFTAR PUSTAKA
--------------------, 2000, AL Qur’an dan Terjemahannya, Depag, Jakarta

--------------------, 2003, Zakat dan Pajak, Majalah Ekonomi Syari’ah, Ekaba Usakti, Jakarta, P 28-29

--------------------, 2003, Fatwa Bunga Bank ya atau tidak ?, Majalah Modal, PT Modal Multimedia, Jakarta, P 8-9

Antonio, Syafi’I, 1999, Sosialisasi Perbankan Syariah, Tazkia Institute, Jakarta

Manan, Abdul, 1993, Ekonomi Islam Teori dan Praktik, PT Dana Bhakti Wakaf, Jakarta

Shodiq, Noor, Askandar, 2003, Perpajakan Pendekatan Undang-undang Baru Manajemen dan Akuntansi, BPFE Unisma, Malang

Shodiq, Noor, Askandar, 2003, Membumikan Ekonomi Syari’ah di Indonesia, Majalah Buana, Unisma, Malang.

Kamis, 03 November 2011

PROFESIONALISME DALAM USAHA

Disamping kewajiban untuk melakukan usaha dalam segala aspek kehidupan, Islam juga mengajarkan perlunya upaya dilakukan secara baik sesuai dengan situasi dan kondisi yang ada, dengan tidak mengabaikan dan meninggalkan ketentuan yang berkait. Setiap pribadi muslim dalam berusaha harus selalu mengedepankan profesionalisme, karena setiap kebijakan dan tindakan yang dilakukan tidak hanya dipertanggung jawabkan di dunia, tetapi juga di akhirat kelak.
Profesionalisme usaha dalam pribadi muslim, menurut Karebet (2003) dicirikan oleh tiga hal :
Pertama, ahli dalam bidang pekerjaan yang dilakukan (kafa’ah). Setiap pekerjaan jika dilakukan oleh fihak yang berkompeten pasti akan memberikan hasil yang jauh lebih baik. Hal ini karena pengetahuan dan ketrampilan yang sesuai, diamping dapat memberikan semangat yang lebih dalam bekerja, pada sisi lain setiap tindakan yang dilakukan akan selalu didasarkan pada perhitungan yang matang antara tingkat manfaat yang akan diperoleh dengan risiko yang mungkin diambil. Perhitungan yang baik, operasionalisai usaha yang terukur dan keputusan yang tepat adalah bagian dari profesionalisme usaha yang harus dijalankan setiap muslim. Dengan profesionalisme, pengusaha bisa menempatkan orang benar-benar sesuai dengan keahliannya (the right man and the right place). Hal ini sesuai dengan peringatan Rasulullah saw yang menyatakan “Ketika sebuah persoalan diserahkan kepada bukan ahlinya, maka kita tinggal menunggu waktu kehancurannya”.
Kedua, memliki semangat dan etos kerja yang tinggi (himmatul ‘amal). Bekerja bagi seorang muslim adalah sebuah keniscayaan, sehingga harus dilakukan secara sungguh-sungguh (al kasb) dengan mengerahkan segala kemampuan asset, pikiran dengan selalu meyakini (positif thinking) akan menuai keberhasilan dikemudian hari dengan petrolongan Allah swt. Hal ini sesuai dengan ajaran Islam, “hakekat manusia adalah berusaha dan hakekat Allah yang memberikan keputusan”.
Kewajiban untuk melakukan usaha telah difirmankan oleh Allah dalam surat Al Jumu’ah 10 : Jika selesai menjalankan sholat, maka bersegeralah untuk bertebaran di muka bumi dan mencari rizqi (karunia) Allah dan perbanyaklah mengingat kepada Allah, mudah mudahan kalian beruntung.                           Ketiga, bertanggung jawab dan terpercaya dalam menjalankan tugas dan kewajibannya (amanah). Sifat amanah saat ini seakan menjadi barang yang langka, barang yang aneh sehingga sering ditinggalkan bahkan dengan sengaja disia-siakan. Keahlian, ketrampilan, etos kerja yang tinggi tidak cukup apabila tidak dibarengi dengan sifat amanah. Kepercayaan merupakan salah satu kunci utama dalam berusaha agar dapat memperoleh keberhasilan. Ketika kepercayaan sudah dapat dimunculkan, maka semua akan dapat terikat dalam hubungan kerja yang berdimensi jangka panjang dengan pendekatan yang saling menguntungkan. Rasulullah memerintahkan setiap muslim untuk dapat selalu menjaga amanat yang telah diperoleh. Tunaikanlah amanat terhadap orang yang mengamanatimu dan jangnlah berkhianat terhadap orang yang telah menghianatimu (HR. Ahmad dan Abu Daud). Hadits lain menjelaskan “Tidak beriman, orang yang tidak memegang amanat dan tidak ada agama yang tidak menepati janji (HR. Adailami)”
Ahli dalam pekerjaan, memiliki semangat untuk bekerja keras dan sikap amanah mutlak harus dimiliki setiap pribadi muslim, dengan selalu menyadari bahwa segala aktivitas yang dilakukan selalu diketahui oleh Allah dan harus dipertanggungjawabkan baik di dunia maupun  kelak di akhirat. Bagaimana dengan anda?